CHANDRA, GANJAR EKA (2023) EFEKTIVITAS PENYUNTIKAN FSH SECARA SUBKUTAN DAN INTRAMUSKULER TERHADAP RESPON SUPEROVULASI SAPI LIMOUSIN. Thesis thesis, Universitas Djuanda.
Text
Halaman Judul.pdf Download (427kB) |
|
Text
BAB I.pdf Restricted to Registered users only Download (346kB) |
|
Text
BAB II.pdf Restricted to Registered users only Download (512kB) |
|
Text
BAB III.pdf Restricted to Registered users only Download (731kB) |
|
Text
BAB IV.pdf Restricted to Registered users only Download (602kB) |
|
Text
BAB V.pdf Restricted to Registered users only Download (84kB) |
|
Text
Daftar Pustaka.pdf Download (198kB) |
Abstract
Perlakuan superovulasi bertujuan menstimulasi proses biologis rekrutment banyak folikel untuk tumbuh, berkembang, matang dan diakhiri dengan ovulasi. Sel-sel telur yang diovulasikan tersebut diharapkan dapat difertilisasi untuk memperoleh banyak embrio yang layak transfer dan jika ditansfer ke resipien akan memberikan angka kebuntingan yang tinggi (Bó et al. 2002). Pelaksanaan superovulasi secara tradisional dilakukan dengan penyuntikan hormon Follicle Stimulating Hormone (FSH) pada pagi dan sore selama 3 – 4 hari dengan dosis menurun untuk menstimulasi perkembangan folikel (Mapletoft dan Bo, 2012; Martins et al. 2012). Secara kimiawi FSH sapi merupakan glikoprotein dengan berat molekul (BM) 37.300, terdiri atas subunit alfa (BM 12.600) dan subunit beta (BM 18.500). Hormon FSH memiliki waktu paruh biopotensi yang pendek sehingga umumnya perlakuan penyutikan FSH secara intramuskuler dilakukan secara berulang untuk menimbulkan efek superstimulasi pertumbuhan folikel pada sapi (Baruselli et al. 2006). Metode konvensional (intramusculer) penyuntikan berulang FSH, sangat membutuhkan waktu (time consuming), dan dapat menyebabkan stress yang dapat memberikan dampak negatif terhadap donor, oleh karena itu penelitian banyak dilakukan untuk mengurangi frekuensi penyuntikan melalui pencampuran FSH dengan media pembawa seperti polyvinylpyrrolidone (Suzuki et al. 1994), gel aluminium hidroxida (Yoshioka et al. 2008; Kimura et al. 2007) atau dengan media slow release formulation (Tribulo et al. 2012). Campuran FSH dan media pembawa tersebut disuntikan dengan dosis tunggal secara intramuskuler telah dilaporkan menghasilkan respons superovulasi yang tidak berbeda dengan protokol superovulasi konvensional (intramusculer). Demikian pula Hiraizumi (2015) dan Junaedi (2016) yang melaporkan penyuntikan FSH via subkutan dengan memanfaatkan deposit lemak di bawah kulit juga menghasilkan respons superovulasi pada sapi potong. Aplikasi FSH melalui rute subkutan dilaporkan oleh Hiraizumi (2015) dan Junaedi (2016) penyuntikan dengan rute subkutan dimaksudkan memanfaatkan lemak dibawah kulit sebagai bahan depo untuk FSH agar dapat melepas FSH dalam jangka waktu yang cukup panjang dan dapat menstimulasi folikel terus menerus selama 4 – 5 hari. Junaedi (2016) mengemukakan metode penyuntikan via subkutan memberikan respon superovulasi yang lebih baik dibandingkan dengan metode penyuntikan secara konvensional (intramuscular). Penelitian ini menggunakan sapi donor Limousin sebanyak 8 ekor yang berumur antara 4 – 5 tahun, masing-masing perlakuan menggunakan 4 ekor sapi,. Bahan lain dan media yang digunakan yaitu preparat progesteron (Cue-Mate® - Bionice Animal Health), Follicle Stimulating Hormone (Folltropin-V® - Vetaquinol N-A, Inc), Prostaglandin F2α (Lutalyse® - Zoetis CA), gel isotonik, iodine povidone, media Lactated Ringer, antibiotik Penisilin dan Streptomisin, calf serum dan lidocaine HCL 2%. Peralatan yang digunakan sesuai dengan tahapan pelaksanaan yaitu pemasangan preparat progesteron, superovulasi, inseminasi buatan, koleksi embrio dan evaluasi embrio. Analisis statistik untuk data respon superovulasi analisis dengan uji-T untuk membandingkan respon kedua perlakuan superovulasi. Prinsip dari uji-T itu adalah membandingkan data hasil observasi dengan nilai yang diharapkan. Perbedaan tersebut dilihat dari nilai T-test sama atau lebih besar dari nilai yang ditetapkan pada taraf signifikan. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah CL, jumlah embrio terkoleksi, embryo recovery rate, embrio layak transfer, dan embrio tidak layak transfer. Secara deskriptif jumlah corpus luteum (20,75±2,17), jumlah perolehan embrio (19,5±2,29), embrio layak transfer (12,75±4,26) dan tidak layak transfer (6,75±4,32) memberikan hasil yang lebih besar pada perlakuan penyuntikan secara subkutan. Namun persentase embrio recovery rate lebih rendah (93,97%) dibandingkan penyutikan FSH intramuskular dosis menurun (94,73%). Secara statistik terlihat nyata perbedaan produksi embrio dari dua perlakuan baik dari segi jumlah maupun kualitas embrio yang diperoleh Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa penyuntikan subkutan dapat digunakan untuk tujuan superovulasi dan menghasilkan embrio dengan jumlah dan kualitas yang setara dengan protokol superovulasi konvensional intramuskular. Penyuntikan tunggal FSH secara subkutan mengurangi frekuensi penyuntikan dan sapi tidak stress serta mudah di handling
Item Type: | Thesis (Thesis) |
---|---|
Subjects: | Q Science > QH Natural history Q Science > QH Natural history > QH301 Biology Q Science > QH Natural history > QH426 Genetics S Agriculture > SF Animal culture |
Divisions: | Fakultas Pertanian (FAPERTA) > Peternakan |
Depositing User: | Mr Admin Perpustakaan |
Date Deposited: | 30 Aug 2024 04:29 |
Last Modified: | 30 Aug 2024 04:29 |
URI: | http://repository.unida.ac.id/id/eprint/4325 |
Actions (login required)
View Item |